Humor Nomor 105, 8 – 21 Februari 1995

Yang menarik dari pembacaan majalah lawas adalah apabila kita menemukan hal yang relevan dengan fenomena kekinian. Relevansi itu bisa karena hal tersebut telah berlangsung dari dulu sampai sekarang, bisa juga karena dulu hanya berupa penerawangan dan sekarang benar-benar kejadian.

Dalam Humor nomor ini, sedikitnya ada dua hal yang relevan tersebut.

Yang pertama adalah komik setrip Mister Aut tentang penggunaan bahasa Inggris yang merajalela dan ke mana kebanggaan atas bahasa sendiri? Serta-merta, saya teringat pada iklan pelatihan berkebun yang akan diselenggarakan oleh salah satu akun kekebunan yang saya ikuti di Instagram. Kalau tidak salah ingat, seluruh iklan tersebut ditulis dalam bahasa Inggris padahal orang-orang di baliknya, ya, berbangsa Indonesia? Saya pun teringat pada Sumpah Pemuda, yang putusan ketiganya berbunyi:

“Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”

Di sisi lain, penggunaan bahasa Inggris yang demikian marak oleh pemuda-pemudi milenial berbangsa Indonesia ini sebenarnya punya dampak positif. Ya, dengan iklim globalisasi dan keterbukaan informasi yang demikian masif sebagaimana dewasa ini, kecakapan berbahasa Inggris is a must. So, penggunaan bahasa Inggris oleh media-media bangsa Indonesia bisa dibilang sebagai suatu pembiasaan terhadap culture ini. Asal enggak campur-aduk aja kali, ya? Because it’s bikin ngurut-ngurut kening.

Yang kedua ada di rubrik Andai-andai. Rubrik ini semacam rubrik Uji Imajinasi di majalah Bobo. Isinya memancing partisipasi pembaca untuk mengembangkan khayalan sesuai dengan topik yang diberikan, untuk dikirimkan kepada redaksi dan yang dimuat pun akan mendapatkan wesel hadiah menggiurkan.

Nah, nomor ini menampilkan rangkaian jawaban pembaca untuk topik: “Andai Mudik Dilarang ….” Para pembaca pada 1995 mungkin tidak terpikir bahwa seperempat abad kemudian andai-andai itu akan menjadi kenyataan—berkat pandemi yang katanya memang melanda dunia tiap seratus tahun. Dari jawaban-jawaban yang dipajang itu, ada beberapa yang benar-benar saya lihat beritanya sepintas lalu di TV yaitu: menyelundupkan orang untuk mudik, mudik jalan kaki ….

Anyway.

Humor nomor ini bertepatan dengan bulan puasa pada waktu itu. Sayang sekali, pada waktu saya membacanya sekarang, momentum tersebut sudah lewat baru sebulan lalu.

Menyesuaikan dengan momentum itu, Humor menampilkan beberapa artikel yang keagama-agamaan, terutama di halaman-halaman depan. Misalnya saja, ada koleksi joke puasa dari KH. A. Mustafa Bisri, ada semacam renungan (?) tentang umat manusia yang sudah pada lebih setan daripada setan itu sendiri, ada tanya jawab tentang puasa dengan ketua umum MUI pada waktu itu, ada wawancara dengan seorang kiai NU yang notabene pimpinan pondok pesantren beken serta kerap tampil di media, ada juga komik-komik tentang sahur.

Namun rupanya, melewati halaman tengah, isinya sudah mengeloyor sama sekali dari nuansa suci Ramadan hingga ke taraf yang membikin saya—seorang perempuan—risi bahkan muak. Yang saya maksudkan adalah joke-joke mengenai perzinaan, perkosaan, perselingkuhan, dengan karakter-karakter wanita yang berakhlak dekaden lagi tolol—berhawa misoginis dan cari gara-gara dengan feminis, kalau boleh saya bilang. Saking jijik, saya ogah menampilkannya di sini sebagai bukti. Rasa-rasanya enggak pantas joke semacam itu dihadirkan pada momentum bulan puasa.

Ya, suruh siapa juga baca Humor, baca saja Quran atau Aku Anak Saleh atau Hidayatullah, Sabili, apalah!

Rasa-rasanya, segala artikel bersangkut-paut puasa dan sebagainya itu formalitas belaka. Malah timbul kesan bahwa artikel tentang “umat manusia yang telah menjadi lebih setan daripada setan” itu sekadar untuk menjustifikasikan artikel-artikel jorok yang muncul belakangan.

Dengan begitu, Humor ini seperti Matra versi ngocol saja: majalah pria dewasa yang salah satu jualannya adalah seksualitas dan bahkan sebagian besar joke­-nya enggak lucu! Ini bukan bacaan umum atau untuk semua umur!

Mungkin saja ini karena saya perempuan, sehingga enggak bisa menangkap lucu-lucuan sadis bin female-deprecating ala-ala cowok yang sebetulnya lumrah saja di kalangan mereka, yang enggak usah dibaperin lah. Dengan permakluman begitu, ini seperti ranah yang tidak sebaiknya saya masuki atau tidak perlu saya ketahui, tapi, yah, apa boleh buat, soalnya saya sudah telanjur “berkomitmen” untuk membaca semua majalah lawas dalam kurun 1993-1995 yang ada di rumah.

Leave a comment