Pembacaan Diary SMP

Awalnya saya mengumpulkan diary SMP, mengurutkannya secara kronologis dengan memberi label, kemudian membaca semuanya satu demi satu, bukanlah karena saya sengaja ingin bernostalgia mengenang masa lalu. Awalnya saya cuma kepikiran akan suatu ide cerita yang saya putuskan untuk menggunakan latar semasa saya SMP. (Simpelnya begitulah karena detailnya terlalu malesin buat dibeberkan). Maka saya membaca diary SMP dengan maksud untuk “riset”.

Sejak SD saya memang sudah suka menulis, mulai dari diary, “esai”, cerpen …. Mulai SMP, saya menulis yang panjang-panjang yang dimaksudkan sebagai novel tapi enggak ada yang selesai sih. Saya juga mulai berpikiran untuk menjadi penulis/novelis. Keinginan itu muncul bukan semata-mata karena dorongan dari dalam diri, melainkan juga akibat pengaruh lingkungan. Ibu saya sendiri pada waktu itu sedang bersemangat menjadi penulis artikel di media massa, dan kami punya hobi memborong buku di Palasari. Selain itu, dalam pergaulan ada saja teman yang suka membaca dan memiliki koleksi buku. Juga ada yang suka menulis. Malah ada teman SD beda SMP yang mengajak saya untuk membeli diary yang mirip buat nantinya dipertukarkan. Persisnya saya tidak ingat, cuma sepertinya pada masa itulah saya mendapat masukan dari suatu buku tentang kepenulisan bahwa berlatih menulis itu di antaranya dengan rajin mengisi diary.

Saya pun mulai kecanduan menulis.

Dengan cepat saya menghabiskan satu buku diary dan menggantinya dengan yang baru. Kalau saya belum sempat membeli buku diary baru, saya menggunakan kertas binder, notebook biasa, apa pun. Bahkan sempat ada masa ketika sedang berada di sekolah dan gatal ingin mencorat-coret, saya doyan meminta kertas kotretan punya teman yang sebetulnya adalah nota bekas ayahnya yang bekerja di TU militer. Saya berusaha menuliskan sedetail yang saya sanggup mengenai segala hal—baik yang terjadi di dalam diri saya maupun di luar diri saya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak.

Awal pembacaan diary SMP terasa menyakitkan. (Saya sempat mengungkitnya di sini.) Semester awal SMP adalah masa adaptasi, bukan hanya dengan sekolah baru melainkan juga rumah baru dan keadaan keluarga sedang tidak baik-baik saja. Di sekolah saya mengalami suatu verbal bullying (tepatnya, diberi julukan yang tidak mengenakkan begitulah) dan saya bukan anak yang pandai berteman pada waktu itu. Ketika saya mengingat masa kecil serta masa SMA dan sesudahnya, sebetulnya saya orang yang relatif mudah berkenalan dengan orang baru. Maka entahlah pada masa awal SMP itu saya tidak ada mood untuk berteman, apa jangan-jangan pengaruh dari masalah keluarga.

Namun, keadaan berangsur-angsur membaik mulai dari semester dua dan seterusnya sampai dengan kelas tiga semester akhir. Meskipun tentunya tetap ada peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan, but overall it was bearable. Pada akhirnya saya punya cukup banyak teman sampai membentuk grup menulis yang menghasilkan cerita berseri dan ada pula “geng” angkot (maksudnya, kami sering pulang bareng naik angkot yang sama dan ini mencakup anak-anak dari kelas lainnya juga). Apalagi sekolah saya kecil dengan sistem kelas unggulan. Maka selama tiga tahun, saya sekelas dengan orang-orang yang itu-itu saja meskipun kemudian ada yang terlempar ke kelas lain atau dari kelas lain masuk ke kelas saya dan bergabung dengan “kelompok” saya. “Kelompok” ini maksudnya yang terbentuk secara alamiah. Pada dasarnya di kelas tempat saya terperangkap selama tiga tahun itu, ada kelompok anak-anak elite, kelompok anak-anak tersingkir, dan anak-anak lain yang berada di antaranya. Saya masuk kaum yang termarginalkan tentu saja (bahkan sampai saat ini). Maka selama tiga tahun kebersamaan sebagai kaum yang terbelakang itu tentu terbangun suatu sense of senasib sepenanggungan, keakraban dan pengenalan karakter yang sepertinya lebih dalam daripada kalau tiap tahun ganti teman sekelas. Walaupun, setelah lulus SMP, tetap saja sih pada jalan sendiri-sendiri dan lebih baik tidak ketemu saja (._.)

Pembacaan diary SMP yang semula membuka lagi luka-luka lama itu pun berangsur-angsur menjadi nikmat. Saya dapat tertawa-tawa membacanya, bahkan ikut berdebar-debar ketika ada peristiwa tertentu. Hal menggelikan dalam pembacaan itu di antaranya adalah khayalan-khayalan saya sendiri yang sering kali lupa daratan, keinginan-keinginan yang tak tahu diri. Menertawakan mimpi-mimpi konyol yang enggak kesampaian itu pertanda apa sih?

Ada juga hal miris yang saya temukan, yaitu pemikiran serta perilaku buruk yang masih ada sampai sekarang. Hal ini membuat saya memenungkan soal “karakter” atau “kepribadian”. Katanya tanda kebijaksanaan adalah mampu membedakan mana yang bisa diubah dan mana yang tidak. Jika ada hal yang bertahan sebegitu lamanya apalagi berupa keburukan, apakah itu artinya memang bukan untuk diubah karena sia-sia saja, ataukah perlu berjuang dengan penuh kesabaran lebih lama lagi bahkan seumur hidup untuk mengubahnya?

Hal yang menetap itu di antaranya adalah dorongan untuk menulis padahal enggak punya bakat. Malah pada semester akhir kelas tiga saya pernah mendeklarasikan diri untuk tidak akan pernah menjadi novelis. Gara-garanya, waktu itu saya suka berkunjung ke forum diskusi Indosiar di internet, khususnya bagian “Pulau Penulis”, di mana saya menemukan ada banyak orang lainnya yang ternyata punya aspirasi yang sama bahkan pada hebat-hebat dalam kemampuan, pengetahuan, pengalaman, dan sebagai-bagainya. Saya pun jadi minder. Bahkan saya yang sekarang pun mengakui bahwa ide-ide saya pada waktu itu tidaklah istimewa (bahkan yang belakangan pun tidak!). Kerap kali saya terpikat oleh ide-ide saya sendiri yang padahal biasa-biasa saja itu, mencoba menuliskannya, hanya untuk mendapati bahwa narasi saya ternyata datar dan membosankan. Ide tidak menarik + narasi garing = combo yang tidak menjanjikan. Itu 2005 ke bawah; setelah beberapa tahun menempa diri dengan menulis cerpen sebulan sekali serta novel setahun sekali ditambah posting-posting panjang di blog kapan pun pengin dan pastinya berusaha membaca sebanyak-banyaknya buku dengan mewajibkan diri membuat review sesudahnya, barulah pada 2012 ke atas saya berhasil setidaknya membungkus ide-ide nan semenjana itu dalam narasi dengan gaya yang mengasyikkan (setidaknya bagi diri saya sendiri) tapi itu pun saya tidak mampu mempertahankannya lama-lama dan sekarang kembali menghasilkan kejemuan.

Tidak ada guna menuliskannya, tidak akan ada yang tertarik membacanya. Namun besoknya saya kedatangan ide baru, menulis kembali mencokoli pikiran saya. Selalu demikian selama hampir dua dekade berikutnya, saya telah menulis berkardus-kardus catatan harian dan coretan lainnya, ratusan posting di blog, ratusan judul terjemahan, ratusan review buku, seratusan cerpen, dan belasan novel, terus dalam pembuktian bahwa saya memang tidak mampu menghasilkan sesuatu yang layak dihargai. Hanya mampu menghasilkan kuantitas tanpa diiringi kualitas yang dapat bermanfaat bagi khayalak. Kebiasaan buruk ini sungguh membuang waktu dan mengalihkan kenyataan yang sulit sekali diperbaiki ataupun dihentikan.

Bahkan sembari membaca dan menemukan bahwa sedari dulu saya sudah kesulitan untuk bersaing dengan sesama penulis aspiran yang lebih kompeten, lebih imajinatif, lebih sociable, lebih good looking, dan sebagai-bagainya itu, saya masih bisa-bisanya kepikiran bahwa diary SMP ini sesungguhnya punya potensi buat diadaptasi menjadi suatu serial slice of life. Soalnya, ada transformasi dari yang tadinya seorang gadis pitifully depressive menjadi kombinasi antara drama queen dan wimpy kid yang bikin geli, dari seorang sasaran bully menjadi siswi yang diselamati guru-guru karena tulisannya dimuat di Pikiran Rakyat dan jadi juara UN (dan kini saya berharap hidup saya berhenti sampai di situ saja karena nikmat apa pun yang kamu dapatkan, IT’S A TRAP atau kata anak zaman sekarang mah JEBAKAN BETMEN).

Selama itu juga, dengan kegemaran mencatat, saya memperhatikan karakter orang-orang di sekitar saya, mulai dari orang tua, teman-teman sekelas, sampai para kecengan. Ya, bahkan kecengan-kecengan saya yang termasuk cowok-cowok paling caem di sekolah pun punya problem-problemnya sendiri. Sebut saja dua (di antara banyak!). Yang satu dikucilkan dari kelompok cowok-cowok elite, dikeluarkan dari Paskibra (katanya), mengklaim dirinya sendiri tidak berbakat, serta emosional dan insecure bahkan sampai SMA (yah, mungkin ABG pada umumnya seperti itu tapi saya memperhatikan melalui catatan saya waktu itu bahwa ada yang perilakunya lebih menonjol). Yang satu lagi adalah siswa teladan tapi memucat ketika diberi tahu bakal diangkat menjadi ketua OSIS, kadang-kadang kelihatan bad mood atau banyak pikiran, enggak bisa main basket (padahal badannya tinggi tegap) serta secara mengejutkan memacari adik kelas yang ternyata anak tetangga yang kulitnya tidak lebih putih daripada dia lalu dipanggil guru dan disuruh putus (HAHAHAHA *ketawa jahat). Dan, secara enggak ternyana, di kelas tiga semester akhir saya bisa punya “momen” dengan cowok-cowok yang menarik perhatian saya itu. Momen yang sangat sederhana sebetulnya, sesederhana bisa duduk berdekatan di angkot dan mengobrol remeh-temeh. Namun bagi gadis hopeless romantic (alias enggak ada harapan untuk bisa punya hubungan romantis—ya, ya, saya tahu pengertian yang sebenarnya bukan itu :p) seperti saya, momen semacam itu sudah merupakan kejadian luar biasa yang menjadi klimaks bagi angan-angan yang hanya bisa saya pendam saja selama-lamanya sampai surut dengan sendirinya.

Maka problem orang-orang di sekitar saya itu potensial untuk dikembangkan dan didramatisasi sehingga dapat mencapai suatu konklusi, selayaknya karya fiksi yang layak konsumsi, dengan tokoh saya berperan sebagai pengamat dan pencatat.

Dalam gaya menulis pun saya temukan ada transformasi. Di awal tampaknya ada pengaruh dari majalah remaja, kemudian dari komik-komik Jepang (untuk ilustrasinya) dan teenlitteenlit barat, sedang di akhir dari penulis yang lagi beken pada waktu itu seperti Adhitya Mulya dan Raditya Dika. Bentuknya mulai kompleks, isinya makin kritis.

Karena tujuan utama dari pembacaan ini sebetulnya adalah untuk “riset” ide novel alih-alih self-discovery, maka setidaknya ada dua isu pada masa itu yang perlu saya eksplorasi lebih luas.

  1. Seksualitas remaja
  2. Bangkitnya perkomikan Indonesia

Tentang yang pertama, kalau dari pandangan dan pengalaman saya sendiri tidak banyak yang bisa ditemukan. Ya iyalah, apalah diriku yang cuma itik buruk rupa lagi polos yang menyimpan bibit-bibit avoidant ini. Paling-paling saya hanya mencatat hal-hal yang saya dengar dari teman yang lebih “dewasa” sambil merasa geuleuh. Selain itu, waktu itu saya suka menyetel radio anak muda dan sesekali secara tidak sengaja mendengar bincang-bincang mengenai soal itu. Baru sekarang saya menyadari bahwa seksualitas remaja sebetulnya isu yang cukup mengemuka pada masa itu, khususnya di Kota Bandung. Bukan cuma karena kota yang saya tinggali itu pernah menjadi lokasi syuting suatu video porno yang belum lama itu menggegerkan hahaha, melainkan juga karena pada masa itu mulai ramai warnet dan HP berkamera yang dapat menjadi sarana untuk mengakses, membuat dan menyebarkan konten begituan. Baru sekarang saya dapat memaknai rilisnya album sebuah grup hip hop lokal Kung Pao Chicken yang berjudul Alit Da Baong (2004 atau 2005, ada di YouTube) sesungguhnya merupakan respons atas fenomena tersebut. Sisi minusnya, anak yang tadinya enggak tahu apa-apa soal itu justru jadi tahu setelah diperdengarkan oleh radio. Inilah awal dari era keterbukaan informasi yang katanya makin hari makin memprihatinkan. Oh, malah dalam lingkup nasional kemudian muncul film-film anak muda yang dianggap meresahkan, sebut saja Buruan Cium Gue (yang kemudian judulnya diubah menjadi Satu Kecupan Saja) serta Virgin (dengan tagline “Ketika Keperawanan Dipertanyakan”), CMIIW.

Kebiasaan anak muda masa kini suka-suka sendiri (tapi suka, kan?)
Tetapi masih banyak juga (yang bagaimana?) Pemuda mikir masa depannya (surem!)

(“Bakumbateo” – Warkop DKI)

Tentang yang kedua, pada masa itu juga perkomikan Indonesia kembali bangkit setelah vakum selama sekian purnama. Hanya saja kali ini karya anak bangsa kuat dipengaruhi oleh komik Jepang yang membanjiri pasar sejak ’90-an. Produk dalam negeri pada masa itu seingat saya antara lain Archie & Medy yang bekerja sama dengan Profesor Yohanes Surya dengan tokohnya sepasang anak SD kembar cowok-cewek mempelajari fisika, serta komik-komik karya kalau enggak salah namanya Nunik T? yang diterbitkan oleh Elex selayaknya komik-komik Jepang. Terbit juga majalah komik Nakayoshi yang kemudian diekori majalah komik keluaran dalam negeri. Saya termasuk anak muda yang terpengaruh oleh gaya komik Jepang pada waktu itu. Menjadi komikus termasuk cita-cita. Namun apa daya menggambar lebih sulit daripada menulis, sehingga yang saya hasilkan hanya draf-draf pendek yang enggak selesai serta ilustrasi-ilustrasi lucu walau ala kadarnya di diary yang sebagiannya bebas dari pengaruh manga (karena selalu mengikuti standar orang lain itu SUSAH!). Dengan cepat mimpi itu pupus dan saya tertawakan kini, hahahaha! Malah baru beberapa tahun ini saya mengetahui bahwa di kota saya ada gelaran tahunan bernama PaKoBan, alias Pasar Komik Bandung.

Maka dua isu atau fenomena di atas berpotensi membuat cerita yang mau saya tulis ini memiliki nilai “historis” (yah, walaupun baru sekitar dua dekade ke belakang :v). Pembacaan diary SMP ternyata tidak memberikan banyak informasi tentang itu walaupun bukannya nihil sama sekali, hanya mengonfirmasikan serta memberikan perspektif ABG yang autentik pada masanya (ciehhh).

Kembali pada kebiasaan buruk saya, yaitu mandek-mandekan dalam menulis. Kalau dulu saya merasa enggak ada bakat, ide biasa-biasa saja, dan minder, sekarang di samping hal-hal itu ada juga desakan akal sehat untuk mengutamakan urusan spiritual dan survival yang mana menulis novel bukanlah amal yang dapat memberikan dampak langsung pada kedua hal itu, atau malah bisa dibilang menulis novel justru pelarian/pelepasan dari kedua hal itu, but when it comes to the difficult part of writing, saya jadi pengin scrolling YouTube sambil rebahan saja seharian hahahaha ….

Yeah, with my chronic indecisiveness, saya berpikir setidaknya selesaikan saja pembacaan diary SMP ini karena tanggung dan ternyata ada hal-hal menarik yang saya temukan yang mungkin berguna bagi perkembangan diri saya sekarang (entah bagaimana). Setelah kira-kira dua tahun saya membacanya sedikit demi sedikit, akhirnya tuntas juga ke-23 buku/bundel tersebut. Sebetulnya hanya 22 yang berupa catatan harian, sedang yang satu berupa kumpulan artikel suplemen remaja dari Pikiran Rakyat dan Kompas pada periode itu. And I am glad. Setelah ini, saya akan masuk SMA, masa yang alih-alih meninggalkan sejuta kenangan manis malah traumatis bahkan sampai belakangan ini dan bukan saya seorang alumnus sana yang mengalaminya (._.)

Mungkin saya akan melanjutkan ke diary SMA kalau saya sudah selesai menggarap semua cerita yang saat ini kepikiran untuk ditulis dari sudut pandang anak SMP Bandung awal 2000-an. Entah kapan itu. Mungkin tak akan pernah, hahahaha.

Saya belajar bahwa suka mengarang/menulis itu tidak berarti harus menjadi “pengarang”/”penulis” yang menerbitkan banyak buku untuk pada akhirnya tenggelam di dasar keranjang obralan. Pandai menyanyi tidak mesti mengorbit sebagai penyanyi yang laris dari panggung ke panggung, yang jago melukis pun tidak semuanya mendapat kesempatan untuk menjual karyanya di galeri-galeri. Saya belajar bahwa tujuan utama saya menulis adalah untuk memberikan rasa terhubung dengan diri saya di kemudian hari, menghiburnya memudarkan laranya walau tak dapat sepenuhnya.

Terima kasih diriku SMP. Kamu jelek dan payah, tapi KEREN dengan upayamu mendokumentasikan kehidupanmu sedemikian rupa sehingga tampak exciting yang sangatlah kusyukuri dan kuapresiasi sekarang ini. Meskipun seandainya aku bisa kasih tahu kamu apa yang akan terjadi pada dirimu di masa-masa setelah kamu SMP, kamu mungkin akan memikirkan kehidupan akhirat lebih cepat. Dunia ini mungkin bukan untukmu, tapi akhirat mau enggak mau harus jadi harapan. Bahkan sekalipun enggak ada harapan, sudah garisnya untuk tetap jalan meskipun tersendat-sendat seperti dorongan menulismu itu, meskipun tiada lagi keinginan pun kemampuan.

Tumpukan ini sudah macam novel berseri saja.
Label pink di sebelah atas kover/halaman depan buku/bundel untuk menandai tanggal periode mulai sampai selesai menulis di situ.

Beberapa halaman yang boleh kamu intip.

Kenapa sih, lu?
Puisi tentang adik kelas yang bikin gemezzh wkwkwk.
Film Harry Potter yang kedua kali, ya 🤔
Segala dicatat termasuk cara bikin ringtone sendiri di HP, pasti dari majalah gitar nih.
Pemikiran yang masih relevan sampai sekarang 🥲
Hayo, ada yang tahu tutup botol merek apa? 👀

2 thoughts on “Pembacaan Diary SMP

Leave a comment