Memperbaiki Terjemahan Sendiri

Belum lama ini saya mendapat kawan baru. Dia menyukai Bab 2 dari Buku 1 The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami dan pernah menerjemahkannya. Kebetulan saya juga pernah menerjemahkan itu, kira-kira awal tahun ini. Kami pun bertukar hasil terjemahan.

Membandingkan hasil terjemahan bukan saja menarik, tapi memang penting. Saya menemukan banyak sekali kesalahan dalam hasil terjemahan saya. Saat baru menyelesaikan suatu draf, saya biasanya membacanya beberapa kali sampai merasa itu cukup layak untuk ditampilkan di blog. Tetapi, rupanya masih ada yang terlewat: ada bagian yang belum diterjemahkan, kalimat-kalimat tidak efektif, terjemahan yang tidak tepat, kesalahan ketik, dan sebagainya.

Yang paling menonjol mungkin pengertian dari “green pepper”. Dengan konyolnya, saya mengartikan itu sebagai “lada hijau”, seakan seumur-umur saya belum pernah memasak menggunakan lada. Kawan saya itu menyarankan supaya meng-googling kata benda yang kurang dikenal. Saya taati, dan hasil googling menunjukkan bahwa “green pepper” ternyata paprika! Dalam teks itu juga terdapat “bean sprout”, yang kalau diterjemahkan secara harfiah mungkin “kecambah buncis”–lucu juga bukan? Google memastikan bahwa itu “taoge”–untung kali ini saya benar.

Ada juga bagian yang ternyata tidak dipahami saya seutuhnya. Ada kalimat begini:

Going out to work can be tough, not something sweet and peaceful like picking the prettiest rose in your garden for your sick grandmother and spending the day with her, two streets away.

Mulanya saya mengira two streets away di situ bermakna jarak tempat tinggal si nenek, katakanlah, beda dua RT. Tetapi, ketika melihat terjemahan kawan saya, dan menanyakannya pada kawan yang lain, menurut mereka two streets away itu jarak yang ditempuh dengan berjalan-jalan bersama si nenek. Jadi, spending the day di situ bukan sekadar “menghabiskan hari” bersama si nenek–apa pun kegiatannya; spending the day + two streets away = jalan-jalan …. :-O

Membandingkan hasil terjemahan semakin seru ketika dilakukan beramai-ramai. Saya sangat senang dan bersyukur sekali dengan adanya blog Latihan Menerjemahkan Novel. Tiap bulan blog itu menampilkan penggalan novel (sekitar 200-300 kata) dalam bahasa Inggris. Siapa saja yang berminat berlatih, diharapkan menerjemahkan penggalan tersebut dan membagi hasilnya di kolom komentar. Namun, hasil terjemahan itu baru akan ditayangkan secara serentak pada tanggal 15, bersama dengan ulasannya per kalimat dari seorang penerjemah profesional. (Salut teramat dalam pada beliau yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pembelajaran pada para penerjemah pemula.) Dari latihan pertama saja saya mencatat belasan poin untuk diperhatikan setiap kali saya hendak menerjemahkan lagi.

Dipikir-pikir, proses menerjemahkan persis seperti mengarang, sama-sama membutuhkan riset dan edit … berkali-kali. Kecanduan untuk selalu menghasilkan karya baru itu mungkin bagus, tetapi, perlu diiringi dengan menyediakan waktu untuk memperdalam (riset) dan memperbaiki (edit), di samping evaluasi kemampuan diri secara terus-menerus antara lain melalui perbandingan. Yah, kadang membandingkan diri dengan orang lain malah bikin inferior (atau malah belagu, iri, dengki, fitnah … dan berbagai penyakit hati lainnya yang pernah diajarkan guru PAI), tetapi barangkali itu tergantung pada perspektifnya. Bukan untuk menilai (dia bagus sedangkan saya jelek) apalagi mempertanyakan keadilan dunia, melainkan untuk mencari alternatif atau jalan dalam meningkatkan kemampuan diri (mungkin saya bisa mencoba cara seperti itu).

Selain perbandingan dengan orang lain yang melakukan hal serupa, baik dalam menerjemahkan karya orang ataupun mengarang karya sendiri, cara lainnya untuk mengevaluasi kemampuan adalah dengan memiliki pembaca. Pembaca yang tidak mesti pandai dalam menerjemahkan ataupun mengarang, meski lebih baik jika berpengalaman membaca tapi tidak pun tidak soal, asalkan: 1) mau membaca karya kita, dan; 2) memberitahukan secara jujur segala kesannya selama pembacaan dan dari situ kita mengenali poin-poin yang mesti diperbaiki. Namun kebutuhan ini kadang terbentur oleh suatu ironi. Saat ini kita hidup pada era digital ketika orang bisa mempublikasikan karya–apa pun–dengan teramat mudah. Banyak orang menulis. Banyak orang ingin dibaca. Termasuk kita. Tetapi, adakah yang benar-benar membaca karya kita? Sudahkah kita benar-benar menjadi pembaca?

(Terima kasih untuk Mbak Paraguay Parancis)

6 thoughts on “Memperbaiki Terjemahan Sendiri

  1. Raysa Prima's says:

    Suka sama postingan ini! Benar sekali Mbak Diyday, saya juga harus membaca dari awal hasil terjemahan saya berkali-kali untuk diedit, merasakan hasil terjemahannya apakah sudah menggunakan kata-kata yang benar, kalimat efektif, dan apakah enak dibaca . Riset, walau memakan cukup banyak waktu, tetapi sangat bermanfaat dan ketika hasil riset kita terapkan ke terjemahan, rasanya lumayan puas gimana gitu, hehe.

    Yang saya masih kurang adalah tidak punya teman untuk saling membandingkan hasil terjemahan, nih. Maka itu, saya ingin melamar jadi teman untuk membandingkan hasil terjemahan dengan Mbak Diyday, bolehkah? πŸ™‚ Saya ingin lebih banyak belajar lagi dengan adanya pembaca hasil terjemahan saya yang juga penerjemah seperti Mbak πŸ™‚ Sumber terjemahannya bisa dari Mbak, teman Mbak, atau saya, bisa gantian. Untuk waktunya, kita bisa melakukannya minimal satu kali sebulan, how? Kalau Mbak Diyday bersedia πŸ˜€

    Makasi sebelumnya ya Mba. Sangat inspiratif πŸ˜€

    Liked by 1 person

  2. diyday says:

    Halo Raysa. Justru saya yang terima kasih sekali dg kunjungan dan apresiasi dari Raysa, eh, dilamar pulak, hohoho … senang sekali … :”)) Masak saya enggak bersedia dg tawaran itu. Semoga kita bisa saling membantu, ya. Mungkin enaknya kita lanjutin ngobrol2 di tempat lain, ya? Di Line, mungkin? Atau BBM?

    Like

  3. arip says:

    Padahal Murakami ini yg Bahasa Inggris-nya paling ‘ringan’ ya.
    Emang terasa, dengan menerjemahankan, kemampuan berbahasa saya (baik Indonesia juga Inggris) rada naik kelas. πŸ˜€

    Liked by 1 person

Leave a comment