Membaca Cerpen Ucendoit, “Mimpi dan Kenyataan” (Medium)

(Sebelumnya, cerpen ini dapat dibaca di tautan ini. Ulasan ini akan membongkar jalan ceritanya.)

Cerpen ini diawali dengan bangun dari mimpi buruk di Senin kedua bulan Juni dan diakhiri dengan bangun terengah-engah di Senin kedua bulan Juni. Kedua Senin kedua bulan Juni itu bisa saja hari yang sama, dan Dodot si tokoh utama hanya terperangkap dalam pusaran mimpi yang seolah-olah tak berkesudahan: mimpi digigit ular, mimpi mendapatkan keberuntungan, mimpi basah, kembali mimpi digigit ular, dan seterusnya, sampai mati renta di kampus. Inception versi calon mahasiswa abadi.

Mimpi digigit ular terhubung dengan kepercayaan (yang dengan baik hati diterangkan oleh penulis di footnote) bahwa itu dapat berarti pertanda datangnya keberuntungan atau justru menggambarkan suasana jenuh berkepanjangan. Kedua makna tersebut kemudian berkelindan dalam cerpen singkat ini. 

Pada mulanya, mimpi tersebut hanya membangkitkan kenangan buruk masa kecil Dodot diolok teman-teman yang ujungnya membuat dia merasa bodoh. Agaknya ia masih merasakan hal yang sama setelah berusia 22 tahun dan terseok-seok mengerjakan tugas akhir kuliah. Kemudian ular dalam mimpi itu ia kaitkan dengan salah satu dosen pembimbingnya yang menyusahkan. Saking menyusahkan, ia menjuluki si pembimbing dengan nama ular yang terkenal paling beracun yaitu “Kobra”.

Namun, sebagaimana mimpi digigit ular dapat berarti datangnya keberuntungan, yang terjadi selanjutnya di luar dugaan. Si Kobra malah bersikap welas asih sampai-sampai Dodot merasa masih berada dalam mimpi. Ia merayakannya dengan selangkangan lengket.

Jangan-jangan, itu semua memang mimpi. Karena berikutnya Dodot tertidur, dipatuk ular lagi, dan terbangun lagi pada Senin kedua bulan Juni, sebagaimana semua ini diawali. Ia menemui si Kobra, yang bersikap sebagaimana mestinya (sesuai yang digambarkan di awal). Kali ini mimpi digigit ular lebih berarti makna yang kedua, yaitu suasana jenuh yang berkepanjangan. Tepatnya, kejenuhan mengerjakan tugas akhir yang tak kelar-kelar. Bahkan si pembimbing mengancam dia akan mati renta di kampus. 

Mengonfirmasi dengan pengalaman saya sendiri, kesusahan selama tahun-tahun terakhir kuliah memang bisa berdampak traumatis hingga termanifestasikan dalam mimpi yang serasa tak tak ada habisnya yang sekali-sekali timbul sampai lama sesudahnya. Saya juga bangun terengah-engah tiap kali mengalami mimpi semacam itu.

Pengalaman yang kiranya relevan bagi sekian mantan atau masih calon mahasiswa/i abadi lainnya ini penulis sampaikan secara efisien, utuh membulat melalui makna ganda mimpi digigit ular. Narasinya asyik dibaca, menggunakan ungkapan-ungkapan metafora, hiperbola, dan sebagainya yang membuatnya lebih bergaya misalkan bekas luka bakar yang “seakan-akan jejak peninggalan purbakala”, dirinya sewaktu masih “sebesar biji kemiri”, “Pak Tua Gepetto” untuk dosen pembimbing yang baik hati, “ular kobra” untuk dosen pembimbing yang durjana, dilengkapi dengan detail-detail yang menjadi makanan si ular seperti “anak kelinci”, mesin pencetak yang berderit seperti “tikus”, serta pelesetan nama dari Dodot menjadi “Codot”, cukup membangun nuansa suspense seolah-olah memang sedang memasuki sarang ular dan ketakutan akan dimangsa.

Seperti ular, seperti ular,

yang sangat berbisa, sangat berbisa,

suka memangsa, suka memangsa ….

(Hello – “Ular Berbisa”)

Leave a comment