Belajar Menulis dan Menerjemahkan dengan Membaca Tesis tentang Penerjemahan

Mulanya adalah “The Trapped Boy”, sebuah cerpen di Words without Borders edisi Maret 2015. Cerpen ini karya pengarang Jepang, Keiichiro Hirano, yang diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh David Karashima. Cerpen ini unik karena berbentuk palindrom, walau bukan pertama kalinya saya bertemu yang demikian. Sebelumnya saya telah membaca cerpen serupa itu di Kemudian.com, karya Adham T. Fusama (kalau enggak salah); tapi ketika saya googling, tidak mudah menemukannya.

Setelah coba menerjemahkan cerpen ini (yang hasilnya bisa dilihat di blog terjemahan saya dengan mencari nama pengarang atau penerjemahnya pada daftar label, kalau tertarik~), saya googling kalau-kalau ada yang pernah mengulasnya. Saya malah menemukan sebuah tesis oleh Brandon Geist, A Translation and Study of Short Stories by Hirano Keiichirō (Arizona State University, 2012).

Dalam tesis ini, beliau memperkenalkan Hirano Keiichirō, riwayat kepengarangannya, kemudian mengangkat dua contoh cerpennya untuk dibahas dan diterjemahkan ke bahasa Inggris. Kedua cerpen itu beliau terjemahkan dengan judul “Trapped” dan “A Fatal Afternoon and Young Brothers on A Wave-swept Shore”. Keduanya mula-mula tampil di majalah sastra Gunzō pada November 2003, kemudian diterbitkan ulang dalam Shitatariochiru tokeitachi no hamon (Ripples of Dripping Clocks, 2004) yang merupakan kumpulan cerpen kedua penulis.

Dalam tesis ini pula, dijelaskan bagaimana penulis bereksperimen dengan bentuk dalam “Trapped” dan metafora dalam “A Fatal Afternoon and Young Brothers on A Wave-swept Shore”. Timbul kesan akan keseriusan penulis dalam menciptakan suatu karya. Menulis tidak sekadar menyampaikan cerita, tapi juga mempertimbangkan bentuk. Idenya bukan hanya dalam isi, melainkan juga pada bentuk. Ada kesatuan antara isi dan bentuk. Yah, begitulah kira-kira. Contohnya, bentuk palindrom pada “Trapped” menunjukkan kondisi si tokoh utama yang terperangkap dalam fenomena bullying.

Karena tesis ini merupakan karya ilmiah, maka Om BG mesti mempertanggungjawabkan hasil terjemahannya dengan mengutip teori-teori penerjemahan serta menjelaskan pertimbangannya dalam menerjemahkan bagian tertentu. Misalnya saja, dalam menerjemahkan versi Om BG ini, saya merasa terganggu oleh kalimat-kalimat panjang yang mengandung banyak klausa dan titik koma. Rupanya itu usaha Om BG dalam bersetia terhadap teks sumber.

It has become uncommon to link several clauses into long sentences in English, but such sentences appear regularly in Japanese prose.” (halaman 16)

Yang menyentuh, ada “pembenaran” yang seperti memotivasi saya dalam penerjemahan (biarpun tak beroleh cuan).

… translation is an impossibly difficult task. That is not to say that it is a waste of time or is not a worthwhile pursuit. …. It is through tackling difficult tasks that we better ourselves; because translation is hard, it is worth doing.” (halaman 11)

“Trapped” itu versi lain dari “The Trapped Boy” David Karashima di WWB. Setelah membacanya, saya merasa takjub. Rupanya ada hal-hal yang kurang jelas pada terjemahan versi David Karashima dan punya Brandon Geist ini melengkapinya. Mau tak mau, dengan membandingkan kedua versi terjemahan bahasa Inggris tersebut, saya memperbaiki terjemahan bahasa Indonesia versi saya. Dengan cara begini pula, kita dapat memaklumi bahwa dalam penerjemahan itu beda kepala beda hasil.

“A Fatal Afternoon and Young Brothers on A Wave-swept Shore” sebenarnya terdiri dari dua cerpen yang berkaitan. Keduanya sama-sama mengangkat tokoh-tokoh bernasib malang yang berujung pada kematian tak terduga.

Dalam cerpen bagian pertama, seorang pemuda berusaha menjambret tas ibu-ibu tua yang baru saja mendapat pinjaman dari lintah darat. Pemuda itu terpaksa menjadi penjambret karena sudah melamar kerja ke mana-mana tapi tidak ada yang mau mempekerjakannya. Adapun ibu tua tersebut terpaksa berutang setelah tertimpa oleh kemalangan yang bertubi-tubi: perusahaannya bangkrut, suaminya kena stroke, dan tidak ada lagi pihak yang mau mengutangi. Dari segi ceritanya saja, saya merasa terenyuh. Cerpen ini terutama memahamkan saya akan kesusahan orang yang sampai terpaksa berutang.

Dalam cerpen bagian kedua, ada kakak-beradik cilik yang bersepeda ke pantai. Kedua orang tua mereka terlalu sibuk untuk mengantar, sehingga mereka pergi tanpa bilang-bilang. Cerpen ini, pada awal membacanya, terasa membosankan. Namun interaksi kakak-beradik ini sesungguhnya menarik, karakterisasinya tajam dan memberikan saya wawasan akan kejiwaan anak laki-laki. Sembari menerjemahkan cerpen ini, saya merasa dapat menghayatinya.

Apalagi akhir cerita begitu tragis, betapa memedihkan sampai saya sendiri merasa lemas saat hendak menggarapnya. (AWAS SPOILER!!!) Walau menurut Om BG cerpen ini juga berujung pada kematian tak terduga, saya masih berharap sesungguhnya ini ending terbuka. Jadi, kakak beradik itu tak mesti mati setelah tersapu oleh ombak. Bisa saja kemudian mereka terdampar dan siuman. Mudah-mudahan!

Setelah menerjemahkan cerpen ini pula, saya merasa dapat memahami metaforanya serta bagaimana membangun nuansa klimaks. Contohnya, kepedihan yang meledak di akhir itu sebelumnya telah didukung melalui detail-detail seperti keringat yang masuk ke mata serta luka yang kena air laut.

Leave a comment