Tempo Nomor 19/XXXI/8 – 14 Juli 2002

ISSN: 0123-4273

Rp 14.700

Kover edisi ini menampilkan gambar banteng serta menyebut Pesantren Al-Zaytun. Kemudian rubrik OPINI (halaman 22-23) memuat tiga artikel yang seperti pengantar untuk artikel-artikel utama yang lebih panjang di halaman-halaman selanjutnya. Ketiga artikel itu masing-masing mengenai Al-Zaytun, telekonferensi dengan Habibie di Jerman, serta proyek-proyek mega (double entendre here)–maksudnya adalah proyek-proyek besar yang diluncurkan presiden ketika itu, Megawati, untuk pemulihan ekonomi. Isu-isu ini tampaknya masih sangat relevan dengan sekarang, kurang lebih dua puluh tahun kemudian.

Tahun lalu, Pesantren Al-Zaytun menuai kontroversi dengan viralnya gambar salat berjamaah yang bercampur antara laki-laki dan perempuan. Rupanya pesantren itu sudah kontroversial sejak dua puluhan tahun silam. Tempo nomor ini boleh dibilang edisi spesial karena memuat laporan investigasi: sejumlah artikel (dari halaman 59 sampai 78) yang menilik berbagai kontroversi seputar pesantren tersebut. Bukan hanya cara salatnya menyimpang sebagaimana yang tampak dalam berita belakangan, melainkan juga pesantren ini ada hubungannya dengan gerakan NII/DI/TII yang hendak membentuk negara Islam ala periode Madinah serta pencaplokan tanah produktif milik warga sekitar dan pemorotan anggota yang kebanyakan masyarakat menengah ke bawah. Komplek bangunan pesantren itu begitu megah, fasilitasnya pun lengkap–sangat mengagumkan, sehingga menimbulkan pertanyaan: darimanakah dana untuk membangun semua itu? Tempo berhasil mewawancarai petinggi Al-Zaytun, Panji Gumilang, yang kukuh mengelak untuk mengungkapkan secara transparan sumber dana pesantren yang dikelolanya. 

Selagi membaca Tempo edisi ini, saya sempat membaca catatan-catatan pembacaan majalah era 1993-1995 (hampir 10 tahun sebelumnya) di blog ini dan menemukan ada berita yang menyoal telekonferensi juga. Hampir 10 tahun kemudian, yaitu 2002, akhirnya itu digunakan di Indonesia tapi masih merupakan perlakuan istimewa. Untuk mengadakannya saja memerlukan biaya 200 juta. Kala itu, telekonferensi diperlukan untuk menghadirkan Habibie sebagai saksi persidangan kasus Bulog. Habibie tidak bisa hadir langsung di persidangan karena sedang menemani istrinya berobat di Jerman. Dua puluhan tahun kemudian, yakni ketika saya menulis ini, telekonferensi sudah sangat umum. Paling tidak, kita-kita yang bukan mantan presiden melainkan orang biasa saja sudah dapat melakukan video call dengan Zoom, Google Meet, atau apa pun, dengan smartphone sendiri-sendiri dan biayanya relatif terjangkau pula. Namun entah kalau konteksnya persidangan, karena yang dikritisi dalam berita di edisi ini adalah pentingnya sumpah dengan kehadiran di ruang fisik, bukan berupa gambarnya saja, dan telekonferensi pun berjalan seperti setting-an, selayaknya syuting acara televisi (memang ini disponsori oleh SCTV) dan tidak memberikan hasil berarti. 

“Proyek Mega dan Kelesuan Investasi”, judul opini itu, menyoal macetnya proyek mega akibat krisis ekonomi (“krismon” itu kali ya). Timbul pertanyaan apakah proyek-proyek besar itu relevan dengan pemulihan ekonomi. Ini semua kedengaran familier. Istilah “pemulihan ekonomi” juga digunakan dalam rangka mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 belum lama ini, hingga memunculkan UU Cipta Kerja yang kontroversial itu. Presidennya memang sudah bukan Megawati, tapi konon katanya masih dibayang-bayangi Megawati. 

“Semua Tergantung Mega” di halaman 30-31 membicarakan gaya organisasi PDI Perjuangan yang mana “Mega sebagai pusat”. Tidak semua diajak rapat olehnya, hanya orang-orang tertentu. Gaya kepemimpinan Mega sebagai presiden pun kurang menonjol, diem-diem bae. Wakil Ketua MPR kala itu, Muhammad Cholil Bisri, dalam wawancara di halaman 46 mengatakan, “… mungkin Megawati sampai 2004 saja. Kiai-kiai pesannya juga sudah begitu. Pertahankan sampai 2004, tapi janganlah ia dipilih lagi.” Dan, dua puluh tahun kemudian, untuk pemilihan 2024, ….

Ada foto-foto sekelompok pria berpakaian seragam merah loreng-loreng hitam di halaman 26-27, yang sempat saya kira adalah “Pemuda Pancasila” tapi ternyata “massa PDI Perjuangan”.

Selain itu, ada beberapa artikel mengenai hubungan Palestina-Israel. Di halaman 88-89, ada kisah mengenai dokter Israel yang menyelamatkan bayi Palestina dari suatu penyakit. Artikel di halaman 126 mengenai campur tangan Amerika Serikat dalam konflik Palestina-Israel.

Membaca terbitan lama yang membicarakan fenomena/peristiwa aktual pada masanya kadang bikin putus asa. Seolah-olah, mau bagaimanapun, perubahan hanya di permukaan sedang ada persoalan-persoalan inti yang menetap. Dan, kita bergerak hanya karena tak enak diam. Atau, karena percaya akan kehidupan nanti yang baru di sanalah kita mendapat ganjaran selayaknya atas usaha-usaha yang sementara terasa bak menggantang asap.

ARTIKEL-ARTIKEL MENARIK

Di Rubrik PENDIDIKAN ada “Bekal Ujian dari Ibu” serta artikel terkait yang lebih pendek, “Musim Panen Para Joki” (halaman 54-55), mengenai perjokian UMPTN memanfaatkan teknologi pager dan handphone ukuran paling kecil. Caranya dibeberkan secara terperinci di artikel ini. Kocaknya, perjokian ini didukung orang tua; padahal seyogianya orang tua bisa mengajarkan nilai moral yang di antaranya kejujuran kepada anak. Ketika membaca majalah-majalah tahun 1993-1995 yang ada di rumah, memang saya menemukan artikel tentang UMPTN, tapi sepertinya tidak ada tentang perjokian 🤔 Entah kalau waktu itu ternyata sudah ada dengan lain cara. Referensi saya tentang perjokian UMPTN paling-paling lagu P Project, “Ilmuwan”, bertahun 1998, pelesetan dari lagu Suede, “Beautiful One”.

Sepertinya handphone paling kecil yang dimaksud dalam perjokian UMPTN itu adalah PHILIPS fisio 820. Kata-kata dalam iklannya di halaman 121 menggelitik: “to flaunt is human“. Lebih lanjut, “Anda bekerja keras meraih keinginan yang didambakan. Di saat berhasil mendapatkannya, Anda ingin orang lain mengetahuinya …. It’s closer to human nature.” Arti dari flaunt sepertinya adalah riya atau pamer. Jadi riya itu manusiawi. Syirik kecil itu manusiawi, yeah ….

Di rubrik TEKNOLOGI INFORMASI, “Kecil itu Murah” (halaman 84), dibicarakan angan-angan yang kini sudah mewujud dalam bentuk smartphone dan tablet, yang sudah menyerupai komputer kecil dalam genggaman. Melalui sarana itu, berangsur-angsur kita dapat mengakses media sosial yang makin hari makin memikat mata mengipas-ngipasi nafsu untuk “flaunt“: Facebook, Instagram, dst. …. Kita ibarat orang yang punya potensi penyakit gula tapi masih saja minum Good Day berkali-kali dalam sehari, setiap hari. 

Dalam “Dengan Iklan, Menjaga Kehormatan” di rubrik MEDIA (halaman 120), Tempo memanfaatkan situasi yang mempersalahkannya menjadi berita. Artikel ini mengenai ruang iklan yang dijadikan corong untuk menyuarakan klarifikasi atau pendapat pribadi. Soalnya, pemberitaan di media massa (termasuk Tempo, sebagaimana yang diungkit di awal artikel) acap tidak sesuai dengan harapan, tidak memuatkan keterangan secara utuh karena prinsip pemberitaan atau keterbatasan ruang. Ilustrasi artikel ini pun menunjukkan contoh advertensi yang dimaksud, yaitu tanggapan Adnan Buyung Nasution atas berita Tempo yang menurutnya “tendensius, merugikan, dan tidak adil bagi klien” bahkan “menyesatkan masyarakat”. Dengan artikel ini pula, Tempo tampak menjaga martabat atas pihak-pihak yang tidak puas dengan pemberitaannya.

“Sebait Puisi Sang Dewa Piano” dalam rubrik MUSIK (halaman 122) mengulas resital piano oleh pianis muda asal Perancis, Jean Dube, di Erasmus Huis, Jakarta, yang memainkan karya-karya Franz Lizst, kompons Hungaria abad ke-19, sekalian menyiratkan kritik terhadap budaya pertunjukan musik klasik. Artikel ini ditutup dengan, “Dengan permainan bagusnya, Dube menyediakan diri ditelan kebesaran para komponis agung yang–oleh para penggemar fanatiknya–dipaksa menempati posisi ‘hegemonik’ dalam musik klasik”.

Seperti biasa, Tempo diakhiri dengan rubrik CATATAN PINGGIR oleh Goenawan Mohamad, dalam edisi ini berjudul “Jalan”, esai yang saya merasa terkait karena bicara tentang alam dan ruang publik di sela privatisasi perkotaan. 

TRIVIA

Sony Ericsson T68i dengan CommuniCam, kamera tambahan.

RCTI menayangkan Piala Dunia 2002 secara penuh. Selain RCTI, SCTV juga menayangkan siaran sepak bola Liga Italia dan Liga Inggris.

TPI menyajikan acara Fighting Championship tiap Sabtu awal bulan, versi Indonesia dari Ultimate Fighting Championship (UFC – Amerika Serikat) yang juga disiarkan oleh stasiun televisi tersebut.

Uang 100 ribu ada gambar bunga merah.

Leave a comment